Minggu, 24 Juni 2012

Opini : Keampuhan Pancasila

OPINI


repro

Baru saja kita memperingati hari kelahiran Pancasila. Setelah Pidato Bung Karno, yang menyintesiskan pelbagai pendapat di seputar konsepsi dasar negara Indonesia, pada 1 Juni 1945, Pancasila secara formal terus diakui sebagai nilai dasar dan haluan kenega raan. Meskipun Undang-Undang Dasar kita se- jak Proklamasi telah mengalami beberapa kali perubahan, namun ia selalu menegaskan di dalam Mukadimahnya, bahwa kemerdekaan kita harus disusun berdasarkan Pancasila, yang mengandung lima sila yang saling mengait.



Setelah 67 tahun Pancasila diidealisasikan sebagai dasar dan haluan bernegara, keampuhan Pancasila di hadapkan pada ujian sejarah ketika negeri ini mengalami krisis nilai dan orientasi.

Perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas kerapuhan basis moral kenegaraan. Praktik politik cenderung mengalami pengerdilan men jadi sekadar perjuangan kuasa demi kuasa; bukan politik sebagai perjuangan mewujudkan kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan mengalami kelumpuhan.

Proses konsolidasi demokrasi terhambat oleh proses “demokratisasi” (perluasan dan pen dalaman) korupsi. Praktik korupsi melanda se luruh lembaga dan instansi kenegaraan, serta merembes ke segala lapisan dari pusat hingga daerah. Seiring dengan laju korupsi, wajah ne geri menampakkan buruk rupa: kemiskinan ke teladanan, kehilangan keadilan dan perlindung an hukum, kesenjangan sosial, keretakan jalinan sosial, perluasan tindak kekerasan, kejahatan dan premanisme, gurita narkoba, kerusuhan di wilayah tambang dan perkebunan, kecelakaan transportasi dan kerawanan sarana publik.

Pada titik genting krisis multidimensi ini, kepemimpinan negara malah hidup dalam pen jara narsisme yang tercerabut dari suasana ke batinan rakyatnya. Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dalam situasi seperti itulah nilai-nilai Pan ca sila memerlukan proses pembumian yang lebih ampuh. Keampuhan Pancasila sebagai prinsip-prinsip kehidupan publik hanya bisa terengkuh dengan menangkap api semangatnya. Inti dari prinsip-prinsip Pancasila tak lain adalah semangat gotong royong.

Ketuhanan menurut alam Pancasila hendaknya dikembangkan dengan jiwa gotongroyong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Kemanusian universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan dan berkeadaban); bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif.

Persatuan kebangsaannya harus berjiwa go tong-royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan ataupun menolak persatuan.

Demokrasinya harus berjiwa gotongroyong (mengembangkan musya warah mu fa kat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elite penguasa-pe modal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan in dividu seperti dalam sistem etatisme.

Keampuhan semangat gotong-royong yang dikehendaki Pancasila itu hanya bisa diaktualisasikan jika ajaran Pancasila juga dikembangkan secara gotong royong. Pancasila tidak bisa lagi dikembangkan secara vertikal dengan dimonopoli oleh negara: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsirkan, dan negara yang menatar. Dalam pendekatan ini, klaim Pancasila sering tergelincir menjadi alat negara untuk mengontrol dan membera ngus kekuatan kritis dalam masyarakat.

Pancasila sepatutnya dikembangkan secara horizontal dengan melibatkan segenap komponen kebangsaan. Selain pemerintah, kaum intelektual, pemuka agama, seniman, masya rakat media, masyarakat sipil, pemangku adat, dan lain-lain bisa melakukan pengisian dan pengembangan terhadap Pancasila sesuai dengan kapa sitas dan posisinya masing-masing. Dalam pendekatan ini, nilai-nilai Pancasila menjadi alat ukur bagi segala komponen bangsa untuk menakar apakah kebijakan-kebijakan negara sesuai atau tidak dengan imperatif-imperatif Pancasila. Dengan demikian, Pancasila bisa menjadi alat kritik bagi kebijakan publik.

Dengan cara-cara seperti itulah, idealitas Pancasila bisa bergerak mendekati realitas. Tes terakhir dari keampuhan Pancasila teruji ketika setiap silanya bisa dibumikan dalam kenyataan.***

sumber republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda dengan menyebutkan Nama dan Alamat Anda